
Tahun 2006 adalah saat pertama saya mengendarai motor. Waktu itu, disemangati oleh Gyaista, kami menyicil motor matic buat saya gunakan dalam kondisi belum bisa mengendarainya. Karena cicilan tersebut, mau tak mau saya harus menggunakan motor tersebut, haha!
Tahun 2017 ini jadi momentum baru keterampilan mengendara saya. Tanpa berbekal pengalaman mengendarai motor dalam jarak jauh, saya langsung nyemplung ke jarak 2000km lintas Sulawesi Selatan dan Tengah. Mirip-mirip dengan kejadian di atas, tidak ada kesempatan saya buat mengelak dari tantangan.
Ada yang berbeda dengan pengalaman berkendara motor jarak pendek, beberapa saya catat dalam point di bawah ini:
Mindfullness
Atau kesadaran pada momen saat ini. Tiap kelokan dan papasan kendaraan membutuhkan kesadaran penuh dari pengendara. Bukan hanya tangan yang bergerak, namun seluruh sendi tubuh turut bermanuver, termasuk pengambilan nafas yang tepat. Pergerakan membuat pikiran tetap terjaga, dan tidak melantur melebihi momen di depan. Ini menjadi semacam meditasi di jalan raya, sesuatu yang tidak didapat ketika berkendaraan di kota yang hiruk pikuk dengan impuls yang sungguh bising.
Sikap tubuh
Pada hari pertama, seusai berkendaraan selama 8 jam, tubuh terasa pegal dan lelah terutama di bagian punggung bawah. Pada hari ke dua, saya mulai memperbaiki sikap tubuh dengan mempraktekkan core seperti yoga yang diajarkan Mbak Ani. Dan hasilnya pegal hilang tak datang lagi. Membuka dada dan melemaskan cengkraman tangan pada kemudi membuat perjalanan oksigen ke pinggul menjadi lebih lancar dan perjalanan lebih ternikmati. Selain itu, penguasaan kemudi juga menjadi lebih baik dan responsif atas situasi jalanan.
Tantangan yang berbeda setiap hari
Situasi lingkungan yang berubah-ubah setiap hari menciptakan tantangan fisik dan keterampilan yang berbeda. Menyetir di jalan lurus lebih soal menahan kantuk dan bosan. Sementara jalan koral menuntun pengendalian tenaga kendaraan yang baik. Kelokan tajam menanjak itu seperti bernapas, harus ambil napas dan melepas pada saat yang tepat. Variasi jalan membuat kurva belajar saya menanjak tajam, dan membuat saya lebih mengenal karakter kendaraan saya dengan lebih baik.
Kesadaran lingkungan
Saat berkendara dengan mobil, sedikit banyak kita terisolasi dengan situasi sekitar. Sementara saat berkendara motor, tiap perubahan suhu, suara, bau, tekstur jalan, maupun lanskap tertangkap baik karena tidak ada pembatas antara kita dengan lingkungan.
Perjumpaan dengan rekan seperjalanan
Saat istirahat, kami seringkali berbincang dengan sesama pengendara motor. Dari tips rute hingga pengalaman di lingkungan tujuan seringkali dipertukarkan di momen ini. Motor menciptakan kondisi egaliter yang menjembatani perbedaan.
Menghindari bebawaan yang tidak esensil
Karena keterbatasan bagasi yang bisa dibawa, sedapat mungkin barang yang dibawa diyakini berguna di perjalanan. Malah kalau bisa berpendekatan multifungsi. Ini nikmat, jadi dalam perjalanan kami tidak disibukkan dengan mengurus barang bawaan. Paling sibuk ya soal manajemen baju saja, yang memang sengaja dibawa dalam kuantitas terbatas. Kami membawa 3 pasang baju per orang. Namun nampaknya 2 pasang sudah sangat cukup.
Rasanya perjalanan kali ini lebih soal nikmat beperjalanan daripada pencapaian. Kenikmatan perjalanan menjadi soal kualitas daripada kuantitas. Benar haditz Nabi Muhammad SAW, kalau bisa ke Mekkah dengan berjalan kaki lebih baik daripada menaiki unta.